Machusun 93 ( Utii)
Minggu, 20 Oktober 2013
TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI
TEORI DAN HUKUM KONSTITUSI
“MATERI MUATAN KONSTITUSI”
Oleh:
Kelompok 10
Ketua :
Lalu M Machsun S (E1B 011 026)
Anggota
:
-
Melinda
Susnita A (E1B 011
029)
-
Jiat
Suprajat (E1B
011 023)
Semester 5
PENDIDIKAN PANCASILA DAN
KEWARGANEGARAAN (PPKn)
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
(P.IPS)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (FKIP)
UNIVERSITAS MATARAM
2013
KATA PENGANTAR
Pertama–tama Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan nikmat terutama nikmat iman dan kesehatan kepada kita
semua. Dengan kesehatan dan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada
seluruh umat manusia di dunia ini, sehingga kami bisa berkarya sampai sekarang.
Kami juga sangatlah bersyukur karena dengan pengetahuan saya bisa menyelesaikan
tugas.
Yang kedua saya juga sangat berterima kasih kepada
dosen pembimbing atau pengajar Teori dan Hukum Konstitusi karena telah
mempercayakan kelompok kami untuk membahas lbih mendalam mengenai Materi Muatan
Konstitusi. Semoga makalah ini akan bermanfaat nagi para pembaca khususnya
mahasiswa. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurnah, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari pihak-pihak terkait.
Mataram, Oktober 2013
penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL............................................................................................... 1
KATA
PENGANTAR............................................................................................ 2
DAFTAR
ISI............................................................................................................ 3
BAB I Pendahuluan……………………………………………………. 4
BAB II Tinjuan Pustaka……………….................................................. 10
BAB III Permasalahan…………………………………………………. 12
BAB IV Pembahasan……………………………………………………........... 14
BAB V Kesimpulan……………………………………………………… 19
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………….. 20
BAB I
Pendahuluan
Dalam
perkembangan kehidupan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat
penting.penmgertian dan materi muatanb konstitusi senan tiasa berkembang
seiring dengan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian terntang
konstitui makin penting dalam Negara-negaara modern saat ini yang pada umumnya
menyatakan diri sebagai Negara konstitusioanal, baik demokrasi konstitusional
maupun monarki konstitusional. Konstitusi tidak lagi sekedar istilah untuk menyebut suatu dokumen
hokum, tetapi menjadi suatu paham tentang prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan
Negara (konstitusionalisme) yang dianut hamper di semua Negara, termasuk
Negara-negara yang tidak memiliki konstitusi sebagai dokumen hokum tertulis
yang menempatkan supremasi kekuasaan pada perlement sebagai wujud kedaulatan
rakyat. Pada hakikatnya konstitusi itu adalah suatu piagam Negara (carter of
the land) yaitu manifesto sebuah pengakuan keyakinan, pernyataan cita-cita.
Dalam hubungan ini K. C. Wheare mengemukakan pertanyaan apa isi konstitusi ? jawabannya
ialah sesingkat mungkin, dan yang singkat itu menjadi peraturan hukum.
Suatu karakter yang paling esensial bagi
konstitusi yang ideal adalah bahwa konstitusi itu sesingkat mungkin.
Sri
Soemantri mengemukakan bahwa konstitusi itu sekurang-kurangnya mengatur tiga
kelompok materi muatan sebagai berikut :
1. Adanya
pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga Negara.
2. Adanya
pengaturan tentang susunan ketatanegaraan yang mendasar.
3. Adanya
pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tuigas ketatanegaraan yang
juiga mendasar.
Meskipun
salah satu kerakteristik konstitusi yang ideal adalah konstitusi yang materi
muatanya sesingkat mungkin, akan tetapi juga akan ditentukan oleh bentuk
pemerintahan yang diadopsi dalam konstitusi itu misalnya bentuk pemerintahan
kesatuan (Negara Kesatuan) biasanya mempunyai konstitusi yang sesingkat mungkin.
Oleh
karena itu dalam konstitusi kita, rumusan HAM hendaknya mampu mencakup beberapa
aspek yaitu ;
1. HAM
berkaitan dengan hidup dan Kehidupan.
2. HAM
berkaitan dengan Keluarga.
3. HAM
berkaitan dengan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
4. HAM
berkaitan dengan pekerjaan.
5. HAM
berkaitan dengan Kebebasan beragama dan meyakini kepercayaan, kebebasan
bersikap, berpendapat, dan berserikat.
6. HAM
berkaitan dengan informasi dan komunikasi.
7. HAM
berkaitan dengan rasa aman dan perlindungan dari perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat manusia.
8. HAM
berkaiatan dengan kesejahteraan social.
9. HAM
berkaitan dengan persamaan dan keadilan.
10. HAM
berkewajiban menghargai hak orang dan pihak lain.
Jika
rumusan HAM diatas yang keseluruhannya telah dicantumkan dalam UUD 1945 setelah
amandemen pada pasal 27, 28, 28 A-J, 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, pasal 31.pasal
33, pasal 34 semuanya dapat diimplementasikan secara konsisten, baik oleh
Negara, maupun oleh rakyat, diharapkan laju peningkatan kualitas peradaban,
demokrasi, dan dan kemajuan Indonesia jauh lebih cepat.
Konstitusi
yang ideal seyogyanya mampu merumuskan mengenai hak asasi manusia dan Warga
Negara.kepentingan paling mendasar dari setiap warga Negara adalah
perloindungan terhadap hak-hakmya sebagai manusia. Oleh karena itu, hak asasi
manusia ( HAM) merupakan meteri inti dari naskah undang-undang dasar Negara
modern. HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan setianp manusia tsebagai makhluk Tuhan YME
dan merupakan anugrahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinngi, dan dilindungi
oleh Negara, hokum, pemerintahan, dan setiap orang demoi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai ham
adalah hak yang melekat pada setiap pribadi manusia.
Struktur
negara ini merupakan sistem ketatanegaraan yang diterapkan di Indonesia
berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam UUD 1945 pasca Amandemen. Di dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia ini merupakan penerapan dari sistem Trias
Politika yang bertujuan untuk memberikan batasan atas kekuasaan yang diberikan
terhadap suatu lembaga kenegaraan. Lembaga kenegaraan tersebut terdiri dari
lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
Berdasarkan
teori Trias Politika dari Montesquieu, struktur pemerintahan terdiri tiga
lembaga kenegaraan, yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif. Di dalam analisisnya Gabrial A. Almond, istilah eksekutif ini
diganti dengan rule application function, lembaga lagislatif diganti istilah
rule making function dan lembaga yudikatif diganti rule adjudication function.
Jika analisis tersebut dikaitkan dengan struktur pemerintahan pusat, maka
lembaga-lembaga negara pasca Amandemen UUD 1945 adalah sebagaimana tabel
ini :
Rule Application Function
|
Rule Making Function
|
Rule Adjudication Function
|
Presiden
|
DPR + Presiden
|
MA
|
TNI-POLRI *
|
MPR
|
MK
|
BI *
|
DPD
|
Komisi Yudisial ***
|
KPU *
|
BPK **
|
|
Keterangan
:
* : Merupakan
lembaga negara yang independen yang dijamin oleh UUD 1945, walaupun pada
dasarnya lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi eksekutif.
** : BPK
tidak memegang fungsi legialatif. Namun, BPK memegang fungsi pemeriksaan yang
merupakan bagian dari fungsi pengawasan DPR dan DPD.
*** : Pada
dasarnya KY bukan lembaga yudikatif. Namun lebih menyerupai “Dewan Kehormatan”
MA yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Di
dalam Amandemen UUD 1945, lembaga negara dapat dibagi menjadi dua kategori,
yaitu organ utama (main state’s organ) dan organ bantu (auxiliary state’s
organ). Organ utama (main state’s organ) adalah lembaga negara sebagai
pelaksana utama dari ketiga kekuasaan negara, di antaranya MPR, DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, MA serta MK. Sedangkan organ bantu (auxiliary
state’s organ) adalah lembaga negara untuk mengoptimalkan pelaksanaan dari check
and balances antar lembaga negara tersebut, di antaranya BPK, KY, BI, KPU, TNI,
dan POLRI.
Menurut
Jimly Ashiddiqie, bahwa Indonesia pasca Amandemen menganut teori pemisahan
kekuasaan (separation of power), dengan alasan lembaga negara yang ada sekarang
ini tidak lagi mendapatkan kewenangan melalui pembagian kekuasaan dari MPR
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sebagaimana paradigma yang dianut oleh UUD
1945 sebelum Amandemen. Kini lembaga-lembaga negara tersebut mendapatkan
kewenangannya secara langsung dari UUD 1945.
Konsepsi
UUD 1945 pasca amandemen juga telah berubah pada konsep check and balances
antar semua lembaga negara. Karena bagaimanapun juga penguasa sangat rentan
untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of powers) sebagaimana yang pernah
dikatakan oleh Lord Action, ”power tends to corrupt, obsolutely power corrupts
absolutely.
Penerapan
prinsip check and balances antara lembaga negara di Indonesia ini didasarkan
pada teori yang dikembanagkan oleh James Madison yang bertumpu pada empat unsur
pokok, di antaranya :
1. Pemisahan
kekuasaan;
2. Kedaulatan
dibagi antara pusat dan negara bagian;
3. Hak
asasi manusia; dan
4. Anggota
kongres dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Sebagai
konsewensinya, maka dalam Amandemen UUD 1945 telah membawa perubahan terhadap
pergeseran kekuasaan negara, di antaranya :
1. MPR
bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan
rakyat, akan tetapi telah menjadi lembaga negara setara dengan lembaga negara
lainnya (Pasal 1 ayat (2)).
2. MPR
terdiri dari anggota DPR dan DPD sebagai representasi perwakilan kepentingan
rakyat dan kepentingan daerah (Pasal 2 ayat (1)).
3. Kekuasaan
membentuk undang-undang tidak lagi berada pada Presiden, tetapi menjadi
kekuasaan DPR (Pasal 20 ayat (1)).
4. Proses
impeachment Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi menjadi wewenang penuh
MPR, tetapi harus melalui ”Putusan MK” terlebih dahulu (Pasal Pasal 7B ayat
(1)).
5. Penarapan
sistem pemerintahan presidensiil sebagai wujud dari konsep separation of power dengan legislatif
(Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 17 ayat (2)).
6. Presiden
dan Wakil Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh
masyarakat melalui partai politik di dalam pemilihan umum (Pasal 6A ayat (1)
dan (2))
7. Kekuasaan
Kehakiman tidak lagi hanya dilaksanakan oleh MA, tetapi juga oleh MK sebagai
lembaga penjaga kemurnian konstitusi (the quardian of the constitution atau
waakhond van de grondwet), sehingga kewenangan MK ini adalah untuk
menyelesaikan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional. MK
berwenang untuk memeriksa Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Memutuskan
pembubaran partai politik, Sengketa kewenangan lembaga negara, Perselisihan
tentang hasil pemilihan umum dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan adanya pelanggaran oleh Presiden dan / atau wakil Presiden
(Pasal 24 ayat (2) jo. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2))
8. Dibentuk
lembaga Komisi Yidusial yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim (Pasal 24B ayat
(1)).Oleh karena itu materi pengaturan mengenai pengatuiran perlindungan ham
perlu diatur dalam konstitusi karena merupakan hal dasar yang harus ada dalam
konstitusi (tata hokum), agar mempunyai legitimasi yang kuat sehingga dalam
penerapan atau pelaksanaan dari perlindunga terhadap ham mempunyai dasar hokum
yang kuat sehingga apabila ada yangmelanggar atau merampas hak-hak asasi
manusia dan warga Negara dapat diberikan sanksi hokum yang tegas.
Mengenai
susunan ketatanegaraan serta pembagian dan pembatsan kekuasaan pada dasarnya
adalah hal yang sangat penting karena bertujuan agar memperjelas struktur
organisasi Negara berserta tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga yang terdapat
dalam struktur nrgara tersebut. Selain itu pembagian dan pembatasan kekuasaan
juga perlu agar tidak terjadinya tumpang tindih kekuasaan ataupun pemusatan
kekuasaan pada satu organ Negara saja. Adanya susunan ketatanegaraan yang jelas
dan kelenngkapan lembaga Negara dalam konstitusi juga mencerminkan sebuah
Negara tersebut
Oleh
sebab itu konstitusi yang ideal harus memuat secara jelas kewenangan dari
masing-masing kekuasaan seperti kekuasaan membuat atau membentuk undang-undang
merupaskan kewwennagan legislatif, kekuasaan meleksanakan undang-undang merupakan
kewenangan eksekutif, dan lembanga yudikatif yang mempunyai
peradilan/kehakiman. Dalam perjalanan kemerdekaan Negara.
BAB II
Tinjauan Pustaka
Ada banyak teori yang bisa
dikemukan dan banyak pula perdebatan mengenai hal ini. Namun setidaknya jawaban
standar yang dapat menjelaskan hal ini adalah pendapat dari Eric Barent bahwa
pertam-tama harus dilihat dahulu akan pengertian dari konstitusi
(Sebuah konstitusi tertulis yang
menegaskan kekuasaan dari parlemen, pemerintah, peradilan, dan lembaga Negara
lainnya. Namun dalam pembentukannya dokumentasi tertulis ini mempunyai bentuk
atau tipe masing-masing Negara. Salah satu karakteristik pementukan konstitusi
sebuah Negara adalah dengan mencantumkan akan hak-hak dasar warga Negara.
Dengan begitu cantuman akan HAM didalam konstitusi merupakan batasan akan
kekuasaan dari parlemen dan pemerintah).
Dari pendapat Barent tersebut
dapat dilihat bahwa dari pengertiannya, Konstitusi sejak awal pembentukannya
telah mencantumkan fundamental right di dalamnya. Keinginan untuk mencantumkan
hak-hak warga Negara tersebut pastinya seiring dengan adanya prediksi atau
dugaan bahwa aka nada kekuasaan yang tek terbatas dari institusi-institusi
Negara tersebut, terutama pemerintah. Sehingga pencantuman jaminan dan
perlindungan hak-hak dasar itu berfungsi untuk membatasai kekuasaan Negara
dalam hal ini yang berkuasa.
Sedangkan dalam teori konstitusi
modern dikatakan bahwa sebuah konstitusi itu sependek mungkin dan megatur
sedikit mungkin ketentuan hukum. Sebagaimana dikatakan oleh K.C. Wheare bahwa
teknis penyelenggaraan suatu konstitusi sebaiknya berisi peraturan yang
mengatur ketentuan hukum secara optimal, hak itu ada sebagai wujud kepentigan
yang diakui dan dilindungi. Dalam hal ini Kelsen menyebutkan hak itu sebagai
sebagai norma hukumdengan kata lain bahwa seseorang yang menuntut seseorag yang
lain untuk berbuat sesuatu karena kepentingan, belum tentu pula orang tersebut
memiliki hak. Hal tidak lain adalah suatu norma yang diberikan wujud
perlindungan sehingga tanpa diperjuangkan oleh kepentingan pun hak itu
seharusnya menjadi suatu norma dan sebagai hukum itu sendiri.
Sementara itu, mengenai susunan
ketatanegaraan serta yang berkaitan dengan pembagian dan pembatasan kekuasaan
tersebut berawal dari gagasan Metesquieu (1688-1755) yang sangat prihatin atas
penyelenggaraan pemerintahan Perancis waktu itu yang sangat absolut sehingga
dia menganjurkan agar kekuasaan yang ada pada negara dibagi ke dalam tiga pilar
kekuasaan, yaitu kekuaaan legislative, exsekutif dan yudikatif. Gagasan itu
didorong keinginannya agar tidak tejadi pemusatan kekuasaan yang saat itu ada
pada raja. Dengan mencontohkan di Inggris yang pemerintahanna berjalan baik
karena menjalankan kekuasaan dalam tiga pilar tersebut.
Indonesia adalah satu dari
ratusan negara yang pernah merasakan hidup dalam kekuasaan negara lain yang
penuh derita. Namun demikian, dalam UUD 1945 ditunjukan bahwa Negara Indonesia
tidak menganut Tris Politika seperti yang dikehendalci oleh Montesquieu. Sebab
fungsi badan eksekutif yang juga menjalankan fungsi legislatif, Pasal 5 UUD
1945 : " Presiden berhak mengjukm rancangan Undang Undang ". Bahkan
sebelum diamandemen presidetr memegang kekuasaan membentnk Undang undang.
Sesungguhnya terjadinya pemerintahan yang otoriter sedikit banyak dipengaruhi
oleh tidak menganutnya UUD I945 atas teori trias politika.
Oleh sebab itu, saat dua rezim
perrerinahan Orde Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Orde Baru (1966- 1998) dijalankan secara otoriter, maka ada desakan
agar pemisahan kekuasaan itu dapat diselenggarakan di Indonesia. Namun sesaat
setelah amandemen UUD 1945 (1999-2002) dilakukan, temyata Trias Politika tetap
tidak dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Harus dipahami,
sesungguhnya Trias Politika memang sulit untuk diterapkan dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara Sebab jika Trias Politika diterapkan seperti apa yang diingini
oleh Montesquieu, negara justru akan kesulitan untuk melakukan control terhadap
lembaga lembaga itu. Sebab konsepnya adalah pemisahan kekuasaan saja. Check and
balance nya yang sulit dilakukan.
BAB III
Permasalahan
Berdasarkan penjelasan dalam BAB
II diatas dapat diketahui bahwa ada banyak permasalahan mendasar yang sedang
dialami oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia pada dewasa ini. Berdasarkan
materi muatan konstitusi yang setidaknya memuat mengenai :
1. Adanya
pengaturan tentang perlindungan hak asasi manusia dan warga Negara.
2. Adanya
pengaturan tentang susunan ketatanegaraan yang mendasar.
3. Adanya
pengaturan tentang pembagian dan pembatasan tugas-tuigas ketatanegaraan yang
juiga mendasar.
Namun
Kenyataannya atau implementasi dari materi muatan konstitusi yang ada dalam UUD
1945 setelah Amandemen masih banyak menyimpang dan tidak sesuai dengan aturan
hukum yang sudah tetapkan. Adapun berdasarkan hal tersebut sekirannya ada
beberapa masalah yang dapat kami kemukakan pada tulisan ini yaitu sebagai
berikut :
1. Banyak
Pasal yang mengatur mengenai HAM dalam BAB tentang HAM di UUD 1945 yang masih
belum bisa memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang pasti
terhadap Hak asasi warga Negara Indonesia.
2. Masih
banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa pada era Orde Baru maupun
pasca reformasi yang masih belum membuahkan hasil keputusan yang jelas, seperti
kasus Trisakti, Kasus jembatan Semanggi, Tanjung Priok, penyerangan markas
PDI-P , kasus timur-timor, pelanggaran HAM selama Operasi militer di Aceh
maupun di Papua.
3. Kebebasan
HAM untuk meyakini suatu agama tau kepercayaan di Negara Indonesia masih
relative terbatas hanya pada kaum mayortas dan seringkali kaum minoritas
mendapat ancaman dan konflik yang dimana Negara tidak bisa menjamin sutuhnya
hak mereka untuk beribadah dan menjalankan ibadah mereka.
4. Susunan
ketatanegaraan yang terjadi setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 menimbulkan
masalah baru yakni dalam hal pengawasan antar lembaga Negara yang masih kurang
dilakukan dengan tegas dikarenkan sistem politik yang dipakai dinegaa kita.
Misalnya pengawasan DPR terhadap Presiden dan Jajarannya masih rendah karena
sebagian besar dari parlemen berasal dari partai pendukung presiden.
5. Kekuasaan
kehakiman yang terlalu besar dan banyak yang dimiliki oleh MK memungkin
terjadinya penyimpangan dan penyelewengan kekusaan sehingga dapat menimbulkan
kekacauan politik. Contoh, tertangap tanganya Ketua MK (Akil Mochtar)
dirumahnya adalah bentuk upaya dari sebagian kelompok yang ingin memanfaatkan
kewenangan yang dimiliki oleh MK.
6. Tidak
jauh beda dengan MK, Mahkamah Agung (MA) juga dalam pelaksanannya seringkali
melakukan kesalahan dalam memberikan putusan yang dampaknya dapat merusak citra
hakim di masyarakat. Hal ini ditambah dengan kinerja Komisi Yudisial dalam
mengawasi dan menjaga integritas Hakim-hakim masih rendah sehingga banyak hakim
yang terlibat kasus penyuapan.
7. Presiden
sebagai lembaga eksekutif dalam praktiknya terlalu banyak ikut campur dalam
urusan legislative yang paa dasarnya dalam teori Trias Politika Presiden
sebagai eksekutif hanya sebagai pelaksana dari kebijakan atau undangundang
tersebut.
8. Masih
adanya kecendrungan akan terjadinya pemusatan kekuasaan atau intervensi yang
dilakukan oleh presiden dapat menjadi ancaman untuk masa yang akan dating.
9. Sistem
yang terjalin dalam Lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif masih lemah
dalam hal pengawsan dan saling mengimbangi. Contohnya kasus Century, Kasus BI,
Kasus Hambalang.
BAB IV
Pembahasan
1.
Aturan
mengenai Hak asasi manusia dan warga negara
Pelaksanaan
hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap kebijakan belum menjadi
bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa untuk menjadi faktor
integrasi atau persatuan. Problem dasar HAM yaitu penghargaan terhadap martabat
dan privasi warga Negara sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana
mestinya. Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi
yaitu realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi politik.
Masalah
HAM di Indonesia dewasa ini seakan-akan tidak bisa stop pada satu pokok
permasalahan, selalu muncul masalah baru yang menyangkut HAM setiap warga
Negara. Namun paling banyak kasus yang terjadi di Indonesia adala pelanggaran
HAM yang sifatnya mendasar seperti Hak untuk Beragama, hak untuk hidup, hak
untuk bersuara maupun menyatakan pendapat. Pemerintah dalam konteks sebagai
pelaksana UUD maupun UU hendaknya menjadi pelayan bagi rakyatnya dalam
melindungi dan menjamin setiap warga negaranya baik kelompok minoritas maupun
mayoritas. Seringkali masyarakat yang mengatasnamakan kelompok minoritas merasa
tidak terjamin akan keselamatan dan kelancarannya dalam menjalankan
peribadatan. Oleh karena itu beragama adalah hak asasi manusia yang masuk dalam
kategori hak dasar yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun.
Konsekuensinya, siapapun harus menghormati, menghargai, dan tidak melanggar hak
orang lain dalam beragama. Bahkan negara tidak memiliki otoritas untuk
menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang salah.
UUD
1945 setelah perubahan mengatur lebih rinci masalah hak asasi manusia. Pasal
28E Ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya. Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 Ayat (2)
UUD 1945 yang menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Sepeti telah diungkapkan pada bagian
awal, seseorang memeluk agama dan beribadat tentu berdasarkan kepercayaan yang
diyakininya. Keyakinan terhadap suatu agama, dan keyakinan atas perintah agama
yang harus dilaksanakan juga mendapatkan jaminan dalam Pasal 28E Ayat (2) yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan, hak
beragama juga diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun berdasarkan Pasal 28I Ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensi
dari adanya jaminan tersebut, setiap orang wajib menghormati kebebasan beragama
orang lain (Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain, negara bertanggungjawab
untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi kebebasan beragama sebagai hak asasi
manusia (Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945). Negara juga harus menjamin bahwa
seseorang tidak diperlakukan secara diskriminatif atas dasar agama yang
diyakini dan ibadat yang dijalankannya (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945).
2.
Aturan
mengenai susunan ketatanegaraan yang fundamental
Ajaran
trias Politica berarti ada tiga kekuasaan atau tiga badan dalam suatu negara
itu, yaitu Legislatif (pembuat Undang-undang), Eksekutif (pelaksana
undang-undang) dan Yudikatif (pengawas pelaksanaan undang-undang). Dan begitu
juga Indonesia, konsekuensi logis karena Indonesia menggunakan sistem
pemerintahan presidensil menurut ajaran trias Politica maka Indonesia pun
mempunyai ketiga kekuasaan tersebut. Legislatif, yaitu : MPR (DPR dan DPD),
Eksekutif (Presiden, Wakil Presiden dan Para Menteri) dan Yudikatif (MA dan
MK).
Permasalahan
yang ada sekarang adalah mengenai struktur ketatanegaraan yang ada di Indonesia
sebagai imbas dari sistem yang kita anut dan juga sebagai imbas dari adanya
amademen UUD 1945. Bila sebelum amandemen, maka struktur ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah MPR berada di atas Presiden. Presiden
bertanggung jawab kepada MPR dan Presiden bertindak sebagai mandataris MPR.
Karena berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen, kedaulatan berada di tangan MPR. Setelah
dilakukan 4 kali amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, maka struktur
ketatanegaraan di Indonesia menjadi, Presiden dan MPR berada dalam satu garis
yang sama, kedudukan mereka menjadi setingkat atau setara. Karena kedaulatan
tidak lagi berada di tangan MPR dan Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR.
Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, Pasal 1 (2), kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilaksanskan menurut Undang-undang Dasar. Struktur seperti ini
memang sangat cocok dan terlihat pas untuk negara kita yang secara bangga
mengatakan sebagai sebuah negara demokrasi. Tapi di sisi lain dengan struktur
yang ada seperti sekarang ini belum jelas bagaimana pertanggungjawaban
Presiden. Bila dulu (sebelum amandemen), Presiden bertanggungjawab kepada MPR
melalu sidang setiap tahunnya, setiap tanggal 17 Agustus, melalui pidato
pertanggungjawaban.
Tapi
sekarang setelah dilakukannya amandemen, belum jelas bagaimana cara
pertanggungjawaban seorang Presiden sebagai seorang penyelenggara pemerintahan
dan sebagai seorang kepala negara. Bila kita menggunakan sebuah logika, maka
bila dulu sesuai konstitusi kedaulatan berada di tangan MPR dan kemudian
Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Maka dengan kondisi sekarang ketika UUD
1945 menyebutkan bahwa kedaulatan sekarang berada di tangan rakyat, jadi secara
mudahnya kita bisa mengatakan Presiden harus bertanggung jawab kepada rakyat.
Tapi, bila logika ini kita lakukan sepenuhnya, akan terjadi suatu kerancuan,
kepada rakyat mana presiden bertanggung jawab ? Dengan cara apa ? Forum apa ?
Oleh
karena itu, kami akan mencoba menyampaikan pendapat yang mungkin akan menjadi
sedikit solusi tentang permasalahan ini. Secara jujur akan mengatakan bahwa
pertanggungjawaban itu lebih mudah bila dilakukan Presiden kepada MPR. Bukan
berarti bahwa kita harus merubah atau melakukan amandemen dan bahkan harus
bergerak mundur atau lebih radikal lagi membangkitkan lagi sistem yang pernah
ada di zaman orde baru. Tapi, ini justru sesuai dengan UUD 1945 yang telah
diamandemen, yaitu kedaulatan yang berada di tangan rakyat. Seperti yang kita
ketahui, rakyat itu adalah semua orang yang ada di negara Indonesia dan tidak
akan mungkin sebuah negara dijalankan begitu saja oleh berjuta-juta orang, pada
akhirnya rakyat menjalankan kedaulatan mereka itu dengan mewakilkan suara atau
hak mereka pada beberapa orang yang mereka percayai dalam diri seorang wakil
rakyat yang duduk manis sebagai anggota DPR atupun DPD. Ini merupakan suatu
konsekuensi logis lainnya dari sistem demokrasi, yaitu dilakukannya pemilihan
umum dan pemilihan umum pun merupakan suatu perwujudan dari kedaulatan yang
rakyat miliki.
Dengan
begitu bisa kita katakan, bahwa MPR, yang merupakan kumpulan dari anggota DPR
dan DPD adalah wakil-wakil rakyat, yang merupakan wakil dari pemilik kedaulatan
di negara Indonesia. Hal lain yang menguatkan pendapat saya adalah dengan fakta
bahwa MPR berdasarkan UUD 1945 Pasala 3 (2), bertugas untuk melantik Presiden
dan Wakil Presiden serta berdasarkan Pasal 7A, yaitu MPR dapat memberhentikan
Presiden. Jadi, sangat pas bila Presiden bertanggung jawab secara formal kepada
MPR, dalam bentuk sebuah pertanggungjawaban secara tertulis maupun lisan. Jadi,
struktur ketatanegaraan Indonesia, sebaiknya MPR berada sedikit di atas
Presiden dan garis yang ada bukanlah garis lurus yang berarti garis komando, tapi
diganti dengan garis putus-putus yang merupakan garis koordinasi.
3.
Aturan
mengenai pembagian dan pembatasan tugas kekuasaan
Premis yang ada dibalik pemisahan
kekuasaan adalah kekuasaan akan membahayakan bagi warga negara bila kekuasaan
yang besar tersebut dimiliki oleh orang perorangan maupun kelompok. Pemisahan
kekuasaan adalah suatu metode
memindahkan kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok, dengan demikian akan menjadi
lebih sulit untuk disalahgunakan.
Menurut
Jimly Asshiddiqie (2000:2), konsep pemisahan kekuasaan secara akademis dapat
dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas,
konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian pembagian
kekuasaan yang biasa disebut dengan
istilah division power(distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan
konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan
bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam
beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara
tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep
pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power) kekuasaan
negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah”.
Gagasan dasar dari
konstitusionalisme adalah pemisahan kekuasaan agar tidak terjadi adanya
dominasi kekuasaan. Pemisahan kekuasaan tergambarkan dengan kuat dengan adanya
pembagian kekuasaan menjadi tiga cabang kekuasaan, sebagaimana yang dijabarkan
oleh Montesquieu, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. UUD
1945 tidak melakukan pemisahan secara tegas terhadap ketiga cabang kekuasaan
tersebut. Berkaitan dengan masalah checks and balances, Undang-undang Dasar
1945 (pra amandemen) dipandang mengandung kelemahan pengaturan mengenai hal
tersebut. Pengaturan mengenai checks and balances dianggap tidak memadai.
Sistem checks and balances dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan
negara yang memberi kewenangan antarn cabang kekuasaan negara (legislatif,
eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan
kekuasaannya masing-masing.
Dengan
demikian dapat dihindarkan penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang
kekuasaan negara. Konstruksi dasar dari Undang-undang Dasar 1945 terlalu
menitikberatkan pada executive heavy, presiden mendapat porsi kekuasaan yang
besar dibandingkan cabang-cabang kekuasaan lainnya, sehingga kekuasaan
eksekutif tidak dapat dikontrol oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Ketidaksederajatan antara cabang-cabang kekuasaan negara tidak memberikan
tempat bagi mekanisme kontrol diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut (checks
and balances system);
Kelemahan-kelemahan
yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 dan terbukanya kemungkinan untuk
melakukan perubahan (amandemen) yang ada dalam Pasal 37 mendorong dilakukannya
perubahan terhadap undang-undang dasar ini.
Amandemen terhadap UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar
terhadap pembagian kekuasaan dalam negara. Terjadi pergeseran terhadap
pembagian kekuasaan, dari pembagian kekuasaan menurut teori montesqiue
(eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi enam cabang kekuasaan, yaitu:
1) kekuasaan
eksekutif/Pemerintahan Negara (Pasal 4
ayat (1) UUD RI 1945)
2) Kekuasaan
legislatif (Pasal 20 ayat (1) UUD RI 1945)
3) Kekuasaan
yudikatif/kehakiman (Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945)
4) Kekuasaan
auditif (Pasal 23E UUD RI 1945)
5) Kekuasaan
moneter (Pasal 23d UUD RI 1945)
6) konstitutif
(Pasal 3 UUD RI 1945)
Dari pembahasan diatas dapat
dikatakan bahwa UUD 1945 setelah amandemen juga ternyata berpeluang untuk memberikan kesempatan kepada
presiden untuk memasuki setiap ruang gerak wilayah lembaga eksekutif dan
yudikatif. Misalnya dalam hal UU presiden dapat mengajukan RUU ataupun dalam keadaan
mendesak dapat mengeluarkan PERPU, dipihak lain, presiden dengan hak dan
wewenang yang dimilikinya dapat masuk keranah yudikatif seperti memberikan
grasi, amnesty, abolisi dan rehabilitasi kepada seorang tahanan. Jika hal ini
dibiarkan tanpa ada aturan hukum yang tegas mengatur mengenai pembagian dan
pembatasan kekuasaan maka sangat akan mungkin terjadinya pemusatan kekuasaan
pada satu titik yang dapat mengancam sistem ketatanegaraan Indonesia.
BAB V
Kesimpulan
A. Kesimpulan
Pada
hakekatnya setiap konstitusi di Negara manapun senantiasa berusaha untuk
menjamin Hak asasi manusia dan warga negaranya dalam rangka menghargai dan
menghormati harkat dan martabat sebagai mahkluk Ciptaan Tuhan YME dan sebagai
mahkluk social. Oleh sebab itu, HAM haaruslah dicantumkan secara nyata tegas
akan keberdaan dan jaminan akan kepastian dari HAM tersebut di dalam
konstitusi, hal ini penting mengingat sering terjadinya pelanggaran HAM dan
perampasan Hak-hak setiap manusia oleh penguasa yang Otoriter. Keberadaan HAM
dalam sebuah konstitusi juga mencerminkan bentuk Negara tersebut serta tujuan
Negara tersebut, sehingga sangatlah diperlukan peran serta pemerintah/Negara
serta rakyat dalam mengawal dan menjaga hak-hak warga Negara agar tidak saling
bertentangan antar hak yang satu dengan hak yang lain.
Disamping
itu, Amandemen yang terjadi dalam konstitusi kita UUD 1945 telah membawa
perubahan yang mendasar mengenai susunan ketatanegaraan di Indonesia dimana MPR
tidak lagi menjadi lmbaga tinggi Negara sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat
dulu dipegang oleh MPR. Perubahan UUD 1945 juga membawa pengaruh dalam hal
kedudukan dan fungsi masing-masing lembaga Negara yang ada didalamnya dimana
Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR begitu juga sebaliknya. Amanat dari
tuntutan reformasi juga menghadirkan sebuah lembaga Negara baru yakni MK
sebagai bagian dari lembaga Yudikatif yang bertugas mengawal dan menjaga
Tegaknya UUD 1945. Namun dalam praktiknya hal tersebut membawa dampak yang
cukup besar dimana MK memiliki weweang yang dinilai terlalu banyak dan dapat
membahayakan kestabilan dalam kehidupan bernegara. Adanya pembagian dan
pembatasan juga menjadi bagian dari muatan konstitusi dimana sejak dilakukan
perubahan terlihat ada pembagian dan pembatasan/pemisahan kekuasaan yang
terjadi antara tiga lembaga yaitu ; Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Namun
dalam perjalanan dan pelaksanaannya terkesan masih ada pemusatan kekuasaan pada
presiden/eksekutif.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan
Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia. Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 1994
KC.
Wheare, 1966, Modern Constitutions, Oxford University Press.
Sekretariat
Jendral MPR RI, 2002, Bahan Penjelasan Dalam Memasyarakatkan Undang-undang
Ddasar Negara Republik Indonesia.
Sri
Soemantri Martosoewingyo, 1987, Persepsi Terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi Dalam Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945, Penerbit Alumni Bandung.
Langganan:
Postingan (Atom)